Diceritakan ketika Masa dimana Bali Saat itu masih merupakan pulau Dawa/pulau Panjang, keberadaannya jauh sebelum Maha Rsi Markandya datang ke Bali. Dikisahkan saat itu ada Seorang Rsi yang mempunyai pesraman di Munduk Uma Duwur sisi selatan (sekitar pura Penataran Ulapan), beliau bernama Rsi Dharma Sadhu yang tinggal bersama istrinya yang berasal dari bukit Batukaru.
Pada suatu hari pada saat Sang Rsi jalan - jalan keluar Pesraman bertepatan dengan Bulan Purnama sasih kecatur (Purnama Kapat) seperti biasa Sang Rsi menuju tempat suci untuk membersihkan diri disebuah sumber air, namun berbeda dengan hari biasanya pada hari itu beliau melihat sosok wanita cantik yang kelihatan seperti bersinar di kejauhan, yaitu di Munduk sebelah barat yang berbatasan dengan sungai dari tempat beliau berdiri.
Ketika wanita itu berjalan ke utara, Sang Rsi tetap mengintai dan mengikuti dari seberang sungai, rupanya wanita itu menuju tempat yang sama, yaitu mata air yang sampai saat ini tepat itu bernama “Taman Megenda” Sang Rsi tetap mengikuti wanita itu sambil bersembunyi dari balik pepohonan, namun akhirnya terlintas dipikiran sang Rsi Dharma Sadhu untuk menanyakan siapa wanita itu.
Beberapa saat setelah wanita itu kembali dai Taman Megenda (mata air suci) Sang Rsi bertanya pada wanita cantik itu dan merekapun berpapasan dan bertegur sapa. Setelah Sang Rsi bertanya, wanita cantik itupun menyebutkan namanya, dari tutut katanya yang halus dan lembut beliau menyebut namanya “Ida Ayu Mas Manik Merta Sari” yang menyatakan dirinya masih gadis dan berasal dari “Tegal Apit Pangkung” Demikian pula Sang Rsi pun menuturkan keberadaannya. Setelah agak lama perbincangan beliau berdua, akhirnya mereka mulai akrab dan saat mereka pulang dari Taman Megenda sebelum akhirnya mereka berpisah beliau sempat istirahat dan duduk-duduk di bawah pohon tak jauh dari pesraman Rsi Dharma Sadhu. Rsi Dharma Sadhu merasakan suatu yang lain saat menatap mata sang gadis. Rasa gundah dan hati berbunga -bunga tak dapat beliau bendung akhirnya keluarlah kata-kata halus nan lembut dari hati Sang Rsi yang mengungkapkan perasaannya kepada Ida Ayu Mas Manik Merta Sari, kata-kata rayuan yang halus bagai taburan sutra menerpa lubuk hati sang gadis, hingga akhirnya mereka menyatakan saling mencintai.
Beberapa saat setelah wanita itu kembali dai Taman Megenda (mata air suci) Sang Rsi bertanya pada wanita cantik itu dan merekapun berpapasan dan bertegur sapa. Setelah Sang Rsi bertanya, wanita cantik itupun menyebutkan namanya, dari tutut katanya yang halus dan lembut beliau menyebut namanya “Ida Ayu Mas Manik Merta Sari” yang menyatakan dirinya masih gadis dan berasal dari “Tegal Apit Pangkung” Demikian pula Sang Rsi pun menuturkan keberadaannya. Setelah agak lama perbincangan beliau berdua, akhirnya mereka mulai akrab dan saat mereka pulang dari Taman Megenda sebelum akhirnya mereka berpisah beliau sempat istirahat dan duduk-duduk di bawah pohon tak jauh dari pesraman Rsi Dharma Sadhu. Rsi Dharma Sadhu merasakan suatu yang lain saat menatap mata sang gadis. Rasa gundah dan hati berbunga -bunga tak dapat beliau bendung akhirnya keluarlah kata-kata halus nan lembut dari hati Sang Rsi yang mengungkapkan perasaannya kepada Ida Ayu Mas Manik Merta Sari, kata-kata rayuan yang halus bagai taburan sutra menerpa lubuk hati sang gadis, hingga akhirnya mereka menyatakan saling mencintai.
Sang Rsi berkata lagi, bahwa untuk mengenang tempat tersebut andai nanti terbentuk sebuah desa ataupun persawahan akan diberi nama “Ujaring Sutra” yang artinya (ujar=kata/raos, Sutra=lembut) kata-kata lembut, hingga lama-kelamaan tempat itu terbentuk sebuah persawahan, yaitu Carik Jaring Sutra sampai saat ini.
Maka berawal dari hari tersebut maka mereka tiap hari-hari tertentu, seperti hari bulan penuh (Purnama) dan yang lainnya beliau menuju sumber air suci atau Taman Megenda. Hal tersebut lama-kelamaan akhirnya menjadi sebuah pertanyaan dihati istri dari Rsi Dharma Sadhu yang selalu memperhatikan gelagat suaminya yang sering keluar pesraman dan pulang terlambat, rupanya seperti sebuah pepatah tak mungkin seseorang mampu menutupi asap. Istri Sang Rsi Dharma Sadhu pun akhirnya tahu apa yang terjadi atas suaminya dimana Sang Rsi juga mencintai wanita lain selain dirinya, perang mulut pun terjadi kekesalan sang istri yang harus membuat sang Rsi terpaksa mengalah dan mengaku bersalah. Keadaan pesramanpun kini kembali seperti hari-hari sebelumnya suasana tenang dan damai.
Keberadaan Sang Rsi tak lepas dari pengawasan sang sitri membuat Sang Rsi harus membatasi keluar pesraman. Dia banyak merenung dan tak banyak bicara, rupanya rasa cinta dan diliputi rasa kangen pada Ida Ayu Mas Manik Merta Sari tak dapat beliau bendung hingga suatu hari bertepatan nemu bulan gelap (Tilem) Sang Rsi mengintai Ida Ayu Mas dari seberang sungai tak jauh di sebelah barat pesraman. Terlihat di kejauhan Munduk di sebelah barat sungai/Munduk Gunung Sari, sosok wanita cantik yang sedang mengayunkan langkahnya dengan sebuah kendi di kepalanya, kulitnya tampak bersinar, itulah Ida Ayu Mas Manik Merta Sari yang sedang menuju “Taman Megenda.” Ida Ayu Mas Manik Merta Sari melepas pandangannya ke sekitarnya tampak kaget terlihat di kejauhan ada seseorang seperti melambaikan tangan kearahnya. Akhirnya beliau mencoba untuk menatap lebih dekat siapa orang itu sesungguhnya, sampai akhirnya tampak jelas. Rasa gundah yang mereka pendam akhirnya sedikit terobati, senyum lebar menebar di wajah mereka berdua tak sepatah katapun terucap dan akhirnya mereka saling melambaikan tangan. Setelah beberapa saat Ida Ayu Mas Manik Merta Sari kembali melanjutkan perjalanannya ke Taman Megenda. Akhirnya beliaupun memutuskan untuk menunggu di tempat itu sampai Ida Ayu Mas Manik Merta Sari kembali dari tempat air suci. Tiap kali beliau melihat hanya bisa bersalam dengan lambaian tangan. Lama-kelamaan tempat Rsi Dharma Sadhu berdiri itu ditinggalkan sebuah nama, andai terbentuk sebuah desa diberi nama “Ulapan” yang artinya lambaian tangan.
Perasaan rindunya kepada Ida Ayu Mas Manik Merta Sari semakin tak bias dibendung, akhirnya beliau memutuskan untuk menemui sang kekasih. Beliau meninggalkan pesraman untuk bertemu di Taman Megenda. Setelah mereka berdua bertemu dan akan kembali mereka melalui Munduk Gunung Sari agar Sang Rsi tidak diketahui oleh istrinya. Sang Rsi pun ingin menuju Tegal Apit Pangkung dimana tempat Ida Ayu Mas Manik Merta Sari tinggal, tetapi Ida Ayu Mas tidak mengijinkannya, dengan harapan sebelum Sang Rsi menikahinya. Akhirnya Sang Rsi menyatakan akan menikahi Ida Ayu Mas dengan menikah atau mejangkepan dan sebagai bukti untuk mengingatkan tempat dimana beliau berkata disebut “Majangan” Akhirnya mereka berdua menyepakati saat itu diberi nama “TAMAN SARI” karena awal pertemuan beliau di Taman Megenda dengan Ida Ayu Mas Manik Merta Sari akhirnya nama digabung menjadi Taman sari. Tetapi nama sebelumnyapun tidak ditinggalkan begitu saja Pesramannya “Taman Sari” tapi wilayah sekitarnya masih disebut Tegal Apit, yaitu subak Tegallampit sekarang.
Hal tersebut juga tidak lepas dari intaian istri dari Rsi Dharma Sadhu, hingga pernikahan /perjangkepan tersebut membuat beliau marah luar biasa. Setelah Rsi Dharma Sadhu kembali ke pesraman Uma Duwur sang istri mengadakan semadi dengan merubah wujudnya menjadi seekor babi putih. Dengan taring yang siap mencabik siapapun yang menghalangi, bulu yang lebat dengan cakaran kuku-kukunya yang sangat mengerikan dan mengeram yang hampir menggetarkan pesraman Uma Duwur. Saat itu Sang Rsi hanya bisa diam, tak bias berbuat banyak, babi jelmaan itu “Angulon Angungsi Lwah” yang artinya ke arah barat menuju sungai, sambil menjerit dia akan memisahkan suaminya dengan wanita idamannya dengan merubah sungai menjadi sebuah danau sehingga munduk Uma Duwur dengan Munduk Gunung Sari bisa dipisahkan. Kecepatan yang sangat dahsyat dari babi jelmaan itu mulai membakar di pesisir sungai dengan berusaha menemukan sumber air, suasana menjadi gaduh memecah kesunyian saat itu sehingga membuat sangat kaget seorang dukuh yang sedang memancing ikan. Dukuh tidak ingin suasana mancingnya diganggu oleh keberadaan babi itu dengan membuat gaduh membongkah dinding sungai, babi itupun dibentak oleh Sang Dukuh. Ketika itu babi putih jelmaan itu menjadi sangat garang, dia mulai memamerkan taringnya dengan mengeram dan menggetarkan sungai. Kemudian bertahan mendekati Sang Dukuh Pancing, matanya merah bersinar, bulu punggungnya mulai berdiri seakan sudah siap menerkam lawan, Sang Dukuh Pancing itu kelihatan agak gemetar dan sedikit melangkah mundur, melihat dukuh itu agak takut, Babi Putih jelmaan itu malah semakin garang. Babi itu mengendap-ngendap dan seketika menyerang Sang Dukuh Pancing, geramannya yang hebat membuat binatang lain harus lari mencari perlindungan. Memang tak pernah diperkirakan secara tak sengaja Dukuh mengayunkan bambu pancingnya mengenai babi jelmaan itu. Sesuatu yang tak diduga terjadi, babi yang menyeramkan itu terjatuh dan menangis di depan Dukuh pancing sambil memohon ampun. Rupanya pancing (Pales Pancing) itu mempunyai kekuatan untuk menolak kekuatan magis. Dukuh Pancing tidak berhenti sampai disana dia tetap membentak dan mau memukul babi itu sampai akhirnya babi itu berkata. Dia menyatakan akan segera pindah tapi tolong untuk mengingat bahwa tempat yang digali itu bernama Taman Batu Karu/Taman Bukit Batu Karu. Karena beliau berasal dari Gunung Batu Karu (Tabanan). Dan mata air Batukaru itu masih tetap sampai sekarang. Keinginan dari istri Rsi Dharma Sadhu itu menemui kegagalan. Dia tidak berhasil memisahkan Rsi Dharma Sadhu dengan Ida Ayu Mas Manik Merta Sari akhirnya beliau menyatakan untuk kembali ke kelahirannya, yaitu bukit Batukaru. Karena kegagalan itu lantaran dibentak dengan bambu pancing sampai babi itu lari ke hilir sungai, dan apabila nantinya terbentuk sebuah dusun diberi nama Br. Mancingan (sekarang disebut Mancingan).
Kembalinya istri Rsi Dharma Sadhu membuat Pesraman Uma Duwur jadi sepi, masih terlihat jelas sarana pemusatan rasa bhakti yang berupa Taulan (arca-arca).
Maka berawal dari hari tersebut maka mereka tiap hari-hari tertentu, seperti hari bulan penuh (Purnama) dan yang lainnya beliau menuju sumber air suci atau Taman Megenda. Hal tersebut lama-kelamaan akhirnya menjadi sebuah pertanyaan dihati istri dari Rsi Dharma Sadhu yang selalu memperhatikan gelagat suaminya yang sering keluar pesraman dan pulang terlambat, rupanya seperti sebuah pepatah tak mungkin seseorang mampu menutupi asap. Istri Sang Rsi Dharma Sadhu pun akhirnya tahu apa yang terjadi atas suaminya dimana Sang Rsi juga mencintai wanita lain selain dirinya, perang mulut pun terjadi kekesalan sang istri yang harus membuat sang Rsi terpaksa mengalah dan mengaku bersalah. Keadaan pesramanpun kini kembali seperti hari-hari sebelumnya suasana tenang dan damai.
Keberadaan Sang Rsi tak lepas dari pengawasan sang sitri membuat Sang Rsi harus membatasi keluar pesraman. Dia banyak merenung dan tak banyak bicara, rupanya rasa cinta dan diliputi rasa kangen pada Ida Ayu Mas Manik Merta Sari tak dapat beliau bendung hingga suatu hari bertepatan nemu bulan gelap (Tilem) Sang Rsi mengintai Ida Ayu Mas dari seberang sungai tak jauh di sebelah barat pesraman. Terlihat di kejauhan Munduk di sebelah barat sungai/Munduk Gunung Sari, sosok wanita cantik yang sedang mengayunkan langkahnya dengan sebuah kendi di kepalanya, kulitnya tampak bersinar, itulah Ida Ayu Mas Manik Merta Sari yang sedang menuju “Taman Megenda.” Ida Ayu Mas Manik Merta Sari melepas pandangannya ke sekitarnya tampak kaget terlihat di kejauhan ada seseorang seperti melambaikan tangan kearahnya. Akhirnya beliau mencoba untuk menatap lebih dekat siapa orang itu sesungguhnya, sampai akhirnya tampak jelas. Rasa gundah yang mereka pendam akhirnya sedikit terobati, senyum lebar menebar di wajah mereka berdua tak sepatah katapun terucap dan akhirnya mereka saling melambaikan tangan. Setelah beberapa saat Ida Ayu Mas Manik Merta Sari kembali melanjutkan perjalanannya ke Taman Megenda. Akhirnya beliaupun memutuskan untuk menunggu di tempat itu sampai Ida Ayu Mas Manik Merta Sari kembali dari tempat air suci. Tiap kali beliau melihat hanya bisa bersalam dengan lambaian tangan. Lama-kelamaan tempat Rsi Dharma Sadhu berdiri itu ditinggalkan sebuah nama, andai terbentuk sebuah desa diberi nama “Ulapan” yang artinya lambaian tangan.
Perasaan rindunya kepada Ida Ayu Mas Manik Merta Sari semakin tak bias dibendung, akhirnya beliau memutuskan untuk menemui sang kekasih. Beliau meninggalkan pesraman untuk bertemu di Taman Megenda. Setelah mereka berdua bertemu dan akan kembali mereka melalui Munduk Gunung Sari agar Sang Rsi tidak diketahui oleh istrinya. Sang Rsi pun ingin menuju Tegal Apit Pangkung dimana tempat Ida Ayu Mas Manik Merta Sari tinggal, tetapi Ida Ayu Mas tidak mengijinkannya, dengan harapan sebelum Sang Rsi menikahinya. Akhirnya Sang Rsi menyatakan akan menikahi Ida Ayu Mas dengan menikah atau mejangkepan dan sebagai bukti untuk mengingatkan tempat dimana beliau berkata disebut “Majangan” Akhirnya mereka berdua menyepakati saat itu diberi nama “TAMAN SARI” karena awal pertemuan beliau di Taman Megenda dengan Ida Ayu Mas Manik Merta Sari akhirnya nama digabung menjadi Taman sari. Tetapi nama sebelumnyapun tidak ditinggalkan begitu saja Pesramannya “Taman Sari” tapi wilayah sekitarnya masih disebut Tegal Apit, yaitu subak Tegallampit sekarang.
Hal tersebut juga tidak lepas dari intaian istri dari Rsi Dharma Sadhu, hingga pernikahan /perjangkepan tersebut membuat beliau marah luar biasa. Setelah Rsi Dharma Sadhu kembali ke pesraman Uma Duwur sang istri mengadakan semadi dengan merubah wujudnya menjadi seekor babi putih. Dengan taring yang siap mencabik siapapun yang menghalangi, bulu yang lebat dengan cakaran kuku-kukunya yang sangat mengerikan dan mengeram yang hampir menggetarkan pesraman Uma Duwur. Saat itu Sang Rsi hanya bisa diam, tak bias berbuat banyak, babi jelmaan itu “Angulon Angungsi Lwah” yang artinya ke arah barat menuju sungai, sambil menjerit dia akan memisahkan suaminya dengan wanita idamannya dengan merubah sungai menjadi sebuah danau sehingga munduk Uma Duwur dengan Munduk Gunung Sari bisa dipisahkan. Kecepatan yang sangat dahsyat dari babi jelmaan itu mulai membakar di pesisir sungai dengan berusaha menemukan sumber air, suasana menjadi gaduh memecah kesunyian saat itu sehingga membuat sangat kaget seorang dukuh yang sedang memancing ikan. Dukuh tidak ingin suasana mancingnya diganggu oleh keberadaan babi itu dengan membuat gaduh membongkah dinding sungai, babi itupun dibentak oleh Sang Dukuh. Ketika itu babi putih jelmaan itu menjadi sangat garang, dia mulai memamerkan taringnya dengan mengeram dan menggetarkan sungai. Kemudian bertahan mendekati Sang Dukuh Pancing, matanya merah bersinar, bulu punggungnya mulai berdiri seakan sudah siap menerkam lawan, Sang Dukuh Pancing itu kelihatan agak gemetar dan sedikit melangkah mundur, melihat dukuh itu agak takut, Babi Putih jelmaan itu malah semakin garang. Babi itu mengendap-ngendap dan seketika menyerang Sang Dukuh Pancing, geramannya yang hebat membuat binatang lain harus lari mencari perlindungan. Memang tak pernah diperkirakan secara tak sengaja Dukuh mengayunkan bambu pancingnya mengenai babi jelmaan itu. Sesuatu yang tak diduga terjadi, babi yang menyeramkan itu terjatuh dan menangis di depan Dukuh pancing sambil memohon ampun. Rupanya pancing (Pales Pancing) itu mempunyai kekuatan untuk menolak kekuatan magis. Dukuh Pancing tidak berhenti sampai disana dia tetap membentak dan mau memukul babi itu sampai akhirnya babi itu berkata. Dia menyatakan akan segera pindah tapi tolong untuk mengingat bahwa tempat yang digali itu bernama Taman Batu Karu/Taman Bukit Batu Karu. Karena beliau berasal dari Gunung Batu Karu (Tabanan). Dan mata air Batukaru itu masih tetap sampai sekarang. Keinginan dari istri Rsi Dharma Sadhu itu menemui kegagalan. Dia tidak berhasil memisahkan Rsi Dharma Sadhu dengan Ida Ayu Mas Manik Merta Sari akhirnya beliau menyatakan untuk kembali ke kelahirannya, yaitu bukit Batukaru. Karena kegagalan itu lantaran dibentak dengan bambu pancing sampai babi itu lari ke hilir sungai, dan apabila nantinya terbentuk sebuah dusun diberi nama Br. Mancingan (sekarang disebut Mancingan).
Kembalinya istri Rsi Dharma Sadhu membuat Pesraman Uma Duwur jadi sepi, masih terlihat jelas sarana pemusatan rasa bhakti yang berupa Taulan (arca-arca).
Rsi Dharma Sadhu memutuskan untuk pindah menuju Pucak Adri. Sementara Ida Ayu Mas Manik Merta Sari yang tinggal di Taman Sari juga menelusuri Puncak Mangenu sampai akhirnya di (Puncak Mangenu, Subak Twali sekarang). Di Puncak Mangenu, Ida Ayu Mas suka menanam buah-buahan. Salah satunya yang paling utama bernama jeruk Linglang (Juwuk Linglang) disanalan beliau mendirikan pesraman, sementara Rsi Dharma Sadhu pun sampai si Pucak Adri, beliau menanam bungan-bungan (sarwa sekar). Tujuannya untuk mengikat wanita cantik yang jadi idolanya. Ternyata Pucak Mangenu tidak jauh dari Pucak Adri hanya dibatasi pangkung (sungai tanpa air) keseharian dari Ida Ayu Mas Manik Merta Sari seperti biasa menuju air Taman Megenda tembus di sebelah barat Pesraman Pucak Mangenu, hal itupun berhasil (Air Suci di sebelah barat Pura Penataran Air Jeruk sekarang). Dan pucak Adri adalah tempat masyarakat Payangan untuk Melasti sampai saat ini.
Pada saat ini pulau Bali masih disebut pulau Dawa/pulau panjang, kemudian datanglah seorang Maha Rsi dari tanah Jawa menelusuri pulau Dawa, yang konon kelihatan bersinar. Maha Rsi Itu tiada lain beliau adalah Maha Rsi Mrkandya. Diceritakan secara singkat perjalanan Maha Rsi Markandya sampai kedua kalinya baru berhasil, dan untuk pertana kalinya menemui kegagalan. 800 orang pengikutnya hampir semua meninggal.
Perjalanan Rsi Markandya untuk pertama kalinya Beliau menelusuri pesisir Pulau Dawa dan memulai perjalanannya dengan menyusuri tukad Yeh Wos/Sungai Wos, setelah beliau merasa di pertengahan pulau Dawa, beliau mencoba mengadakan semadi pertama kali ada di Puncak Gunung Lebah (Campuan ubud) kemudian mengikuti sampai menuju hulu, beliau masih kebingungan dimana harus memulai kembali meminta petunjuk dengan beryoga di Pura Pucak Payogan dan melanjutkan perjalanan akhirnya sampai di suatu tempat dimana beliau kembali memohon petunjuk untuk memulai memotong kayu, tempat itu ada di Pura Murwa Bumi banjar Pengaji sekarang. Karena beliau diikuti olah 8—orang pengikut maka untuk mempertemukan/parum saat ada pembicaraan pentingan maka dibangunlah sebuah bale panjang/Bale Agung dengan tiang berjumlah 98 tiang dengan dibagi menjadi 48 blok dipakai tempat pertemuan. Di sekitar bale tersebut banyak para pengikut mendirikan gubuk-gubuk kecil. Kemudian Rsi Markandya kembali melanjutkan perjalanan kearah utara sampai batas utara, yaitu pura Alas Angker sekarang. Tetapi dalam perjalanan itu banyak pengikutnya mengalami jatuh sakit, bahkan tidak diketahui sebabnya. Mulailah beliau mengumpulkan pengikutnya untuk diajak kembali tapi hanya beberapa yang beliau temukan akhirnya beliau menyusuri tempat-tempat pengikutnya memotong kayu. akhirnya Beliau menemukan pengikutnya dan saat itu dijadikan sebuah nama yang sampai saat ini menjadi nama banjar seperti Pilan(yang berarti ngepil/bersembunyi ketakutan), Seming(yang artinya mukanya pucat pasi), Penginyahan( ngiyah yang artinya berjemur karena mengigil kedinginan), Ponggang, Semaon, dan lainnya. Karena sakralnya tepar/hutan di sekitar tempat itu maka diberi nama "Alas Angker " yang artinya hutan yang sangat magis.
Pada saat ini pulau Bali masih disebut pulau Dawa/pulau panjang, kemudian datanglah seorang Maha Rsi dari tanah Jawa menelusuri pulau Dawa, yang konon kelihatan bersinar. Maha Rsi Itu tiada lain beliau adalah Maha Rsi Mrkandya. Diceritakan secara singkat perjalanan Maha Rsi Markandya sampai kedua kalinya baru berhasil, dan untuk pertana kalinya menemui kegagalan. 800 orang pengikutnya hampir semua meninggal.
Perjalanan Rsi Markandya untuk pertama kalinya Beliau menelusuri pesisir Pulau Dawa dan memulai perjalanannya dengan menyusuri tukad Yeh Wos/Sungai Wos, setelah beliau merasa di pertengahan pulau Dawa, beliau mencoba mengadakan semadi pertama kali ada di Puncak Gunung Lebah (Campuan ubud) kemudian mengikuti sampai menuju hulu, beliau masih kebingungan dimana harus memulai kembali meminta petunjuk dengan beryoga di Pura Pucak Payogan dan melanjutkan perjalanan akhirnya sampai di suatu tempat dimana beliau kembali memohon petunjuk untuk memulai memotong kayu, tempat itu ada di Pura Murwa Bumi banjar Pengaji sekarang. Karena beliau diikuti olah 8—orang pengikut maka untuk mempertemukan/parum saat ada pembicaraan pentingan maka dibangunlah sebuah bale panjang/Bale Agung dengan tiang berjumlah 98 tiang dengan dibagi menjadi 48 blok dipakai tempat pertemuan. Di sekitar bale tersebut banyak para pengikut mendirikan gubuk-gubuk kecil. Kemudian Rsi Markandya kembali melanjutkan perjalanan kearah utara sampai batas utara, yaitu pura Alas Angker sekarang. Tetapi dalam perjalanan itu banyak pengikutnya mengalami jatuh sakit, bahkan tidak diketahui sebabnya. Mulailah beliau mengumpulkan pengikutnya untuk diajak kembali tapi hanya beberapa yang beliau temukan akhirnya beliau menyusuri tempat-tempat pengikutnya memotong kayu. akhirnya Beliau menemukan pengikutnya dan saat itu dijadikan sebuah nama yang sampai saat ini menjadi nama banjar seperti Pilan(yang berarti ngepil/bersembunyi ketakutan), Seming(yang artinya mukanya pucat pasi), Penginyahan( ngiyah yang artinya berjemur karena mengigil kedinginan), Ponggang, Semaon, dan lainnya. Karena sakralnya tepar/hutan di sekitar tempat itu maka diberi nama "Alas Angker " yang artinya hutan yang sangat magis.
Rsi Markandya akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jawa karena tak kuat lagi melanjutkan perjalanannya. Setelah sampai di Pucak Adri beliau bertemu seorang wanita datang dari mata air suci akhirnya bertegur sapa dan Sang Maha Rsi diajak mampir ke pesraman pucak Mangenu. Sampai di pucak Mangenu Ida Sang Rsi disuguhkan minuman air jeruk (Juwuk Linglang). Wanita itu adalah Ida Ayu Mas Manik Merta Sari. Atas suguhan itu seolah - olah memberikan suatu kekuatan dan kesegaran kepada Rsi Markandya dan pengikutnya sehingga yang sakitpun kembali menjadi sembuh. Karena kekuatan itu muncul dari air jeruk maka pesraman itu dinamakan Penataran Air Jeruk.
Setelah itu Rsi Markandya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kembali ketanah Jawa dikaki Gunung Dieng. Disanalah beliau kembali mohon petunjuk untuk memulai lagi perjalanannya ke pulau Dawa dengan mendekatkan diri kepada Sang Hyang Gri Natha (Hyang berstana di Gunung Agung). Dari Gunug Raung menuju pulau Dawa dan mulai perjalanan dari Pucak Pulaki Singaraka (Pucak Melanting sekarang).
Terus menyusuri tengah pulau Dawa menuju Gunung Agung. Disana Beliau memulai lagi dengan diawali sesaji dengan unsur Panca Datunya. Setelah dari Gunung Agung kembali menuju arah barat akhirnya sampai di dataran yang sangat subur (Alas Jimbar), apapun yang ditanam pengikut beliau hidup dengan subur, maka tempat itu disebut Jagat Sarwa Ada (serba ada), yaitu jagat Taro sekarang. Karena untuk kedua kalinya dapat wahyu di Gunung Raung, maka di Taro dibangunlah Pura Gunung Raung. Kemudian dari Taro Ida Sang Maha Rsi kembali ke Pucak Gunung Lebah, Pucak Payogan, dan lagi ke utara menyusuri sungai Wos. Kembali mulai di Payangan ini berawal di Pura Senetan (Br. Bayad) dari sanalah lagi memulai memotong kayu untuk di Payangan, setelah mendekati bale panjang/Bale Agung ditemukan banyak gubuk-gubuk yang sudah kosong saat itu diberi nama Karang Suwung sampai sekarang. Di Bale Agunglah Maha Rsi Markandya memulai membagi kahyangan (Ngepah Kahyangan) di desa Kahyangan/Parahyangan. Dari sini beliau menelusuri para pengikut beliau saat pertama di pulau Dawa di Payangan utara, di sekitar Alas Angker karena tidak ada lagi yang meninggal maka disebut Kerta. Desa Kerta itulah batas utara perjalanan beliau untuk di Payangan. Kalau di sebelah barat sampai di Pura Saka Luwih di Dusun Selat, Buahan. Dari Bale Agung Rsi Markandya tetap memusatkan pikiran menuju Gunung Agung maka ada yang dijadikan tempat oleh Beliau untuk pemusatan pikiran beliau untuk menatap Pucak Gunung Agung dari Bale Agung yang disebut pusat Penganjingan yang sekarang disebut Puseh Branjingan di Banjar Ulapan Bukian. Dan tepat duduknya beliau itulah diberi nama “MELINGGIH” yang berarti Duduk.
Setelah itu Rsi Markandya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kembali ketanah Jawa dikaki Gunung Dieng. Disanalah beliau kembali mohon petunjuk untuk memulai lagi perjalanannya ke pulau Dawa dengan mendekatkan diri kepada Sang Hyang Gri Natha (Hyang berstana di Gunung Agung). Dari Gunug Raung menuju pulau Dawa dan mulai perjalanan dari Pucak Pulaki Singaraka (Pucak Melanting sekarang).
Terus menyusuri tengah pulau Dawa menuju Gunung Agung. Disana Beliau memulai lagi dengan diawali sesaji dengan unsur Panca Datunya. Setelah dari Gunung Agung kembali menuju arah barat akhirnya sampai di dataran yang sangat subur (Alas Jimbar), apapun yang ditanam pengikut beliau hidup dengan subur, maka tempat itu disebut Jagat Sarwa Ada (serba ada), yaitu jagat Taro sekarang. Karena untuk kedua kalinya dapat wahyu di Gunung Raung, maka di Taro dibangunlah Pura Gunung Raung. Kemudian dari Taro Ida Sang Maha Rsi kembali ke Pucak Gunung Lebah, Pucak Payogan, dan lagi ke utara menyusuri sungai Wos. Kembali mulai di Payangan ini berawal di Pura Senetan (Br. Bayad) dari sanalah lagi memulai memotong kayu untuk di Payangan, setelah mendekati bale panjang/Bale Agung ditemukan banyak gubuk-gubuk yang sudah kosong saat itu diberi nama Karang Suwung sampai sekarang. Di Bale Agunglah Maha Rsi Markandya memulai membagi kahyangan (Ngepah Kahyangan) di desa Kahyangan/Parahyangan. Dari sini beliau menelusuri para pengikut beliau saat pertama di pulau Dawa di Payangan utara, di sekitar Alas Angker karena tidak ada lagi yang meninggal maka disebut Kerta. Desa Kerta itulah batas utara perjalanan beliau untuk di Payangan. Kalau di sebelah barat sampai di Pura Saka Luwih di Dusun Selat, Buahan. Dari Bale Agung Rsi Markandya tetap memusatkan pikiran menuju Gunung Agung maka ada yang dijadikan tempat oleh Beliau untuk pemusatan pikiran beliau untuk menatap Pucak Gunung Agung dari Bale Agung yang disebut pusat Penganjingan yang sekarang disebut Puseh Branjingan di Banjar Ulapan Bukian. Dan tepat duduknya beliau itulah diberi nama “MELINGGIH” yang berarti Duduk.
Demikianlah sedikit cerita/Mitos yang berkembang dimasyarakat Payangan adapun kebenarannya hanya yang Maha Kuasa Yang Mengetahuinya namun sedikit tidaknya keberadaan tempat dan nama yang diutarakan dalam cerita ini memang ada sampai saat ini dan semoga tulisan ini dapat bermanfaat.
dulu saya sering sekali tangkil ke Pura Air Jeruk, sudah hampir 5tahunan ngga kesana lagi, jadi kangen.. kalau bisa bagi fotonya dong..
BalasHapus